Sabtu, 30 Juli 2011

Kesederhanaan Itu ... ?

 Tidak sedikit keluarga pewaris kekayaan besar, yang selama hidupnya berkelahi tiada hentinya. Ditandai oleh banyaknya segi  kebencian. Kecurigaan terhadap setiap anggota keluarga. Digabung menjadi satu, kekayaan yang dikumpulkan secara susah payah oleh generasi pendahulu, tidak membuat hidup lebih mudah, malah sebaliknya membuat semuanya jadi sengsara.

Memang, ada banyak sebab yang bersembunyi di balik fenomena ini. Namun, satu hal pasti, ketidakmampuan untuk hidup dan berfikir sederhana, telah membawa mereka pada lautan kehidupan yang penuh dengan tekanan.

Saya mensyukuri sekali kehidupan yang bergerak perlahan dari tataran yang sangat bawah. Ketika masih mengontrak dari satu rumah kecil ke rumah kecil yang lain, rasanya bahagia sekali kalau bisa memiliki rumah BTN. Ketika masih bergelantungan di bus kota, atau kemana mana naik motor rasanya nikmat sekali jika bisa punya mobil. Tatkala hidup dengan makan sangat pas-pasan, selalu terbayang enaknya makan dengan daging yang memadai.

Saat anak masih sekolah di sekolah sederhana di pinggiran kota, ada cita-cita agar mereka bisa masuk di sekolah terkemuka. Hanya rasa syukur yang teramat sering saya ucapkan ke Tuhan, tetapi kepala otomatis merunduk ketika menemui orang-orang dengan tingkatan kehidupan di bawah. Ada godaan untuk selalu menolong, bila ada kemampuan untuk melakukannya. Dan yang paling penting, pengalaman meniti tangga kehidupan dari bawah, membuat saya sering ingat akan pentingnya kesederhanaan hidup.

Seperti pernah ditulis Deana Rick dan rekan di Personal Excellence, “having too much can actually be a hindrance to an attitude of gratitude because, in reality, you can not appreciate what you have, if you have too much“.

Dengan kata lain, memiliki kekayaan yang terlalu banyak sering mengurangi rasa syukur. Sebab, penghargaan terhadap rezeki sering menurun sejalan dengan semakin banyaknya uang yang dimiliki.

Nah, kesederhanaan berfikir dan kesederhanaan hidup itu penting dalam konteks ini, karena ia yang bisa menjadi jembatan yang memadai antara rezeki dan keinginan. Rezeki, sebagaimana kita tahu mengenal batas-batas. Sedangkan keinginan di pihak lain seperti langit, tidak ada batasnya.

Kesederhanaan bisa menjadi jembatan dalam hal ini, karena bisa menjadi ‘manajer’ bagi sang diri. Ia yang memilih mana yang betul-betul perlu, dan mana yang hanya pelengkap saja. Ia yang memisahkan keinginan yang diwarnai egoisme, dengan keinginan yang perlu dipenuhi.

Kembali ke cerita awal tentang orang kaya materi yang hidupnya penuh percekcokan, mereka memang punya uang, tetapi pengalaman hidup yang langsung di atas, membuat kesederhanaan bisa menjadi barang mewah buat mereka.
Dibandingkan dengan saya yang sering  memakan makanan sederhana berbulan-bulan, dan sekarang mudah sekali merasakan enaknya makan, makan Mc. Donald, Kentucky, atau malah restaurant mewah sekalipun bagi orang kaya tadi tidak pernah menimbulkan selera.

Bagi saya yang pernah mengontrak sejumlah rumah kecil kumuh dan sederhana, atau tinggal di rumah dengan tanah ratusan meter sudah sangat memuaskan. Tetapi bagi mereka, ini hanyalah sesuatu yang tidak perlu dihargai dan disyukuri.

Untuk ukuran manusia yang bertahun-tahun bergelantungan di bus kota, naik sedan menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi anak orang kaya di atas, ia hanyalah keseharian yang biasa dan hambar.

Dengan latar belakang pendidikan TK atau SD di desa, dan anak pernah sekolah di SD negeri pinggiran , bisa menyekolahkan anak di sekolah khusus adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Namun, bagi orang kaya di atas, ini hanyalah sebuah rutinitas tanpa rasa.

Seluruh cerita dan ilustrasi ini memperkuat argumen Deana Rick, bahwa greed and materialism block thankfullness. Keserekahan dan materi menghalangi ketulusan untuk bersyukur pada Tuhan.

Sebaliknya dengan kesederhanaan, rasa syukur, terimakasih, penerimaan bagi sang hidup, mudah sekali muncul. Saya tidak tahu, bagaimana pengalaman Anda. Namun, saya amat bersyukur pada Tuhan yang pernah membawa saya pada kelokan-kelokan kehidupan yang membuat saya sampai pada kesimpulan: “kesederhanaanlah awal dari kebahagiaan“.

Saya mengisi prinsip ini dengan berjalan-jalan mengelilingi rumah setiap pagi sore sambil mengucapkan terimakasih. Menggendong dan menciumi anak-anak bila ada kesempatan. Mengobrol dan guyon dengan Istri atau yang lainnya. Anda, saya kira, bisa melakukannya dengan cara Anda sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar