Rabu, 06 Juli 2011

Merenungi Langit ,,,



Ada
sesuatu yang hilang dari kehidupan masyarakat kota: keindahan langit. Gemerlap
lampu kota telah merampas hak kerlip bintang-bintang di langit untuk menembus
setiap kalbu. Sementara gedung-gedung tinggi menghalangi indahnya matahari
terbit dan terbenam yang penuh makna. Mungkin hal itu salah satu sebab kurang
pekanya kalbu kita membaca ayat-ayat-Nya di alam.

Padahal
Allah mengingatkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi….(Q. S. 3:190-191).

Menurut
riwayat, setelah ayat itu turun Rasulullah SAW menangis. Bilal yang menemuinya
pada waktu shubuh bertanya mengapa Rasulullah sampai menangis. Rasulullah
kemudian menjelaskan bahwa malam itu turun ayat yang amat berat maknanya. Padahal
sedikit umatnya yang merenungkannya.

Mungkin
banyak di antara kita terbiasa membaca tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil,
tetapi sebatas formalitas dzikir sesudah shalat. Sehingga fenomena yang biasa
kita lihat adalah mengejar kuantitas jumlah bacaan, kadang dengan ucapan yang kurang
sempurna.

Dzikir
sebenarnya tidak hanya diucapkan sesudah shalat, tetapi berlaku sepanjang
kehidupan. Sayangnya suasana lingkungan dan kesibukan kota kadang melalaikan.
Bila setiap hari hanya kemacetan dan gedung-gedung tinggi yang mewarnai suasana
hati, mungkin dzikir terlupakan. Berganti dengan keresahan dan kejenuhan.

Beruntunglah
bila masih sempat menikmati langit malam menjelang tidur atau menjelang shubuh.
Matikan lampu luar beberapa saat. Pandangi langit bertabur bintang. Bila
beruntung berada di lokasi yang tidak terlalu parah terkena polusi cahaya, "sungai
perak" galaksi Bimasakti yang memiliki ratusan milyar bintang akan
terlihat membujur di langit. Sesekali mungkin terlihat meteor seperti bintang
jatuh.

Dalam
keheningan malam, ingatlah Allah. Renungkan ayat-ayat-Nya yang terlukis indah
di langit. Ucapan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil saat itu akan lebih
mendalam merasuk kalbu daripada sekadar ucapan yang berpacu dengan hitungan
biji tasbih atau buku-buku jari.

Di
tengah keluasan langit, kita sadari bumi kita hanyalah planet mungil di
keluarga matahari. Sedangkan matahari sendiri hanya sekadar bintang kecil di
galaksi Bimasakti. Masih banyak bintang raksasa yang diameternya ratusan kali
diameter matahari.

Galaksi
dihuni oleh milyar bintang serta gas dan debu bahan pembentuk bintang-bintang
baru. Padahal jumlah galaksi yang ada di alam semesta ini tak terhitung
banyaknya.

Rabbana
maa khalaqta haadza baathilaa, subhaanaka faqinaa ‘adzaabannar, "Tuhan
kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau! (Hanya
Engkau yang Mahasempurna, kami manusia dhaif penuh kesalahan). Karenanya
(ampunilah kami), jauhkan kami dari siksa neraka" (Q.S. 3:191).

Semakin
dalam bertafakur, semakin sadar akan kelemahan dan kekecilan diri manusia. Dari
segi substansi materinya, jasad manusia tidak ada bedanya dengan debu-debu
antarbintang, sama-sama terbentuk di inti bintang. Namun nafsu manusia kadang menghanyutkan
pada ketakaburan, merasa diri besar. Setiap yang besar, pasti ada yang lebih
besar. Hanya Dia yang Mahabesar. Patutkah kita masih menyombongkan diri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar