Minggu, 13 Maret 2011

AURAT " Jika kita tak mampu menghormati diri kita sendiri, tentu orang lain pun tak akan menghormati kita."


Entah mengapa, beberapa waktu belakangan ini Twitter diramaikan kembali dengan pembicaraan seputar jilbab.  Seperti biasa, perdebatan terjadi karena sebagian pihak memilih untuk mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab itu tidak wajib hukumnya.  Bagi pihak ini, pendapat Quraish Shihab menawarkan angin segar, karena memberikan landasan teologis untuk pendapat mereka.  Pendapat Quraish Shihab inilah yang selalu menjadi perbincangan dari tahun ke tahun.

Pendapat yang menyatakan bahwa aurat perempuan adalah berdasarkan norma yang berlaku, meskipun terdengar cukup memuaskan, namun sebenarnya sangat berbahaya, karena ‘sulit dipegang’.  Tidak adanya standar yang jelas dan baku membuat batasan yang disebut ‘norma’ itu pun menjadi begitu lentur.  Norma di Indonesia saat ini berbeda dengan norma di Amerika Serikat, misalnya.  Di Indonesia, mengenakan rok mini masih dianggap tidak pantas oleh sebagian orang, sementara di negara-negara Barat bahkan sudah tersedia pantai khusus untuk mereka yang senang bertelanjang bulat.  Akan tetapi, norma ini pun pada akhirnya akan menjadi korban dari globalisasi.  Orang di Indonesia melihat gaya hidup di Amerika, dan dalam banyak hal, mengadopsi begitu banyak hal dari apa yang dilihatnya itu.

Jika konsep norma tidak dapat berlaku secara universal, maka Islam menawarkan konsep yang lebih mudah untuk dijadikan ukuran, yaitu aurat.  Batasan-batasan bagian tubuh yang boleh diperlihatkan ini berlaku secara universal untuk semua manusia dewasa.

Meskipun Quraish Shihab tidak mengikuti pendapat yang jauh lebih ekstrem seperti pendapat Syahrur, namun kita bisa saja tergelincir di titik ini.  Syahrur, seorang pemikir Islam liberal dari Timur Tengah, berpendapat bahwa aurat adalah hal-hal yang membangkitkan rasa malu seseorang.  Jadi jika orang malu dengan kepalanya yang botak, maka menutupi kebotakan itu adalah wajib baginya.  Sebaliknya, jika yang dianggap membangkitkan rasa malu hanya sekitar wilayah kelamin, maka sisanya boleh diperlihatkan kepada semua orang.  Tidak ada pemisahan yang tegas antara konsep ‘norma’ dengan konsep ‘aurat personal’ seperti yang diajukan oleh Syahrur.

Sesuai dengan sifat dasarnya, sekularisme memang melucuti nilai-nilai ketuhanan dari segala hal.  Prof. Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam dan Sekularisme, menjelaskan tiga ciri sekularisme, yaitu: (1) disenchantment of nature, (2) desacralization of politics, dan (3)deconsecration of values.  Ketiga prinsip yang sama juga diberlakukan oleh kaum sekuler-liberal kepada tubuh manusia.  Pertama, mereka menganggap bahwa tubuhnya tidak memiliki keterkaitan dengan Tuhan.  Kedua, mereka menganggap bahwa segala aturan yang berlaku di tengah masyarakat, termasuk norma dan undang-undang, tidak boleh diwarnai dengan aturan agama.  Ketiga, mereka melenyapkan nilai-nilai agama dari segala nilai, termasuk kesopanan, kepantasan, dan seterusnya.

Bagi orang-orang sekuler, tubuh adalah milik pribadi manusia.  Tentu saja, bagi mereka yang berpikiran seperti ini, sulit menerima adanya suatu aturan yang tegas menentukan cara mereka berpakaian dan menutupi tubuhnya.  Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa mereka bangga pada bagian tubuhnya yang diperlihatkan itu, sebagian lagi mengatakan bahwa hak akan tubuh adalah hak asasi manusia yang tak boleh direnggut oleh siapa pun.

Dengan pola pikir yang demikian, tentu saja, ketentuan Islam soal aurat nampak begitu represif, terlebih lagi bagi kaum perempuan, yang memang batasan auratnya lebih luas daripada bagi kaum lelaki.  Akan tetapi, Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan sekularisme, karena keduanya memang memiliki pijakan dasar yang berbeda.

Siapa pun yang memahami agama Islam, meski sedikit, pasti mengetahui bahwa syarat untuk memeluk agama Islam sangatlah mudah.  Yang diperlukan hanyalah sebuah pernyataan keyakinan yang dicakup dalam syahadatain.  Dalam syahadatain itu, kita mengakui otoritas penuh Allah SWT terhadap diri kita.  Sebagai konsekuensinya, kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang kita harapkan, kita takuti, kita cintai, kita taati, dan seterusnya.  Sebelum mengakui hal-hal ini, seseorang tak bisa dikatakan sebagai seorang Muslim.

Pengakuan dan ikrar penghambaan ini tentu tidak lahir begitu saja, melainkan dari proses akal yang mencerna pengalaman hidup masing-masing sehingga sampai pada kesimpulan bahwa apa yang dimilikinya di dunia adalah pemberian Allah SWT semata.  Tubuh kita adalah salah satu pemberian Allah yang kita sangat sedikit memiliki andil di dalamnya.  Siapa yang bisa memastikan bahwa kita sehat karena pola hidup, bukan karena susunan DNA yang telah Allah tetapkan sejak kita masih berada dalam rahim ibu?  Jika susunan tersebut kita katakan merupakan hasil dari penjagaan yang ketat terhadap kondisi janin, maka selanjutnya kita pun perlu mempertanyakan sejauh mana keterlibatan manusia dalam masalah ini.  Orang yang melakukan observasi mendalam terhadap diri dan kehidupannya pastilah memahami bahwa ia hanya memiliki sedikit kuasa terhadap dirinya sendiri.

Bagi seorang Muslim, tubuhnya bukanlah miliknya.  Selain kuasa Allah, ada begitu banyak andil orang lain dalam hidupnya, termasuk tubuhnya.  Oleh karena itu, tidak sepantasnya bagi seorang Muslim untuk bersikap kufur nikmat (yaitu nikmat memiliki tubuh yang berfungsi dengan baik) dengan menyatakan, “Ini tubuh saya.  Mau diapakan saja, terserah saya!”

Pribadi sekuler – sebagaimana yang sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya – cenderung mengasingkan dirinya dari manusia lainnya.  Mereka merasa hidup sendiri-sendiri, tak punya kepentingan dengan orang lain, dan orang lain pun tak punya kepentingan dengan dirinya.  Artis seronok kebanyakan tak peduli apakah orang tuanya merasa malu menyaksikan penampilannya di layar kaca, sebagaimana mereka pun tak peduli pada perasaan anak-anaknya yang hampir tak punya muka lagi di sekolah karena semua temannya telah melihat orangtuanya buka-bukaan dalam sebuah film.  Mereka tidak memikirkan dampak dari perbuatannya bagi orang lain.  Bagaimanapun, manusia memiliki fitrah sebagai makhluk sosial.  Apa yang kita lakukan akan senantiasa berpengaruh pada orang lain.

Selain dari sudut pandang ini, Islam pun memiliki cara pandang yang unik terhadap aurat.  Jika menutup aurat dianggap sebagai masalah yang memberatkan bagi orang-orang sekuler, Islam justru menganggapnya sebagai sumber kehormatan.

Peristiwa pengepungan Bani Qainuqa’ patut kita jadikan sebagai refleksi.  Masalah dimulai ketika seorang perempuan Muslimah mendatangi tukang sepuh dari Bani Qainuqa’, sebuah kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah.  Datanglah sekelompok pemuda Yahudi mengerumuninya.  Salah satu diantara mereka mengikat ujung pakaiannya, sehingga ketika ia hendak beranjak pergi, terbukalah auratnya.  Muslimah itu pun menjerit karena merasa telah dilecehkan.

Jeritan seorang Muslimah menjadi musibah bagi sang pemuda Yahudi yang iseng itu, karena sekonyong-konyong datanglah lelaki Muslim yang dengan gagah berani membela kehormatan saudarinya.  Dengan cepat, pemuda Yahudi itu terbunuh.  Pemuda Muslim tadi pun akhirnya dikeroyok oleh para pemuda Bani Qainuqa’ hingga tewas.  Apa yang diawali dari sebuah keisengan berubah menjadi malapetaka, karena Bani Qainuqa’ menolak untuk menyerahkan orang-orang yang bersalah.  Rasulullah saw. memberikan komando untuk melakukan pengepungan, hingga akhirnya Bani Qainuqa’ menyerah.  Mereka pun diusir dari Madinah karena telah bersama-sama melindungi orang-orang yang telah melecehkan kehormatan seorang Muslimah.

Aurat yang ditutup adalah simbol kehormatan.  Jika tidak ditutup, hilanglah kehormatannya.  Insting para pemuda Yahudi sudah bisa memahami masalah ini.  Oleh karena itu, pelecehan terhadap perempuan seringkali dilakukan dengan menyerang auratnya.

Karena ia adalah simbol kehormatan, maka Islam pun tidak memandang sebelah mata masalah ini.  Sikap Rasulullah saw. yang sangat tegas dalam hal ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang Muslimah – siapa pun dia, bagaimanapun garis keturunannya – adalah suatu masalah yang patut untuk dibela, bahkan pantas untuk menyebabkan berkobarnya peperangan.  Tentu saja, dalam hal ini, Bani Qainuqa’ dapat dipandang sebagai pelaku kejahatan berjama’ah karena mereka melindungi para pelaku pelecehan.  Dengan demikian, hukuman pun tidak diberlakukan secara individu, melainkan kepada keseluruhan Bani Qainuqa’.

Jika HAM versi orang-orang sekuler menganggap jilbab dan pakaian Muslimah sebagai sebuah pengekangan, maka Islam justru memandang hal tersebut sebagai kehormatan.  Jika aurat perempuan lebih banyak daripada laki-laki, maka itu sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk bersikap baik kepada kaum perempuan dan mengutamakan ibu daripada ayah dalam hal penghormatan.  Ajaran Islam untuk menghormati ibu tidak hanya menjadikan umat ini menghormati ibu mereka masing-masing, melainkan juga semua ibu.

Umat Islam telah terlatih untuk memandang setiap perempuan sebagai ibu-ibu mereka, saudari-saudari mereka, dan anak-anak gadis mereka sendiri.  Tidaklah mengherankan jika jeritan seorang Muslimah bisa membangkitkan ghirah yang begitu kuat dalam dada seorang pemuda Muslim, karena ia tahu bahwa kaum laki-laki diwajibkan untuk membela kehormatan kaum perempuan.  Ini adalah pemahaman yang (seharusnya) sudah tertanam dengan kuat dalam benak setiap Muslim.

Pada hakikatnya, Islam mensyariatkan penutupan aurat bukan untuk menyusahkan manusia, namun justru untuk menjaga kehormatannya.  Bahkan penelitian mutakhir telah dapat mengkonfirmasi bahwa perempuan yang gemar memamerkan auratnya hanya dianggap mainan belaka oleh kaum lelaki.  Semakin banyak aurat dibukanya di tempat umum, semakin rendah kehormatannya di mata kaum Adam.

Kita tidak perlu menghakimi saudari-saudari kita yang belum mengenakan jilbab.  Menutup aurat adalah satu dari sekian banyak kewajiban.  Kalau sudah menutup aurat, belum tentu pasti masuk surga, karena masih banyak kewajiban lainnya.  Akan tetapi, kita pun hendaknya tidak menggunakan berbagai pembenaran usang seperti ‘menjilbabi hati sebelum mengenakan jilbab yang sebenarnya’.  Ungkapan ini bersumber dari sebuah kesalahan logika, karena menutup aurat jauh lebih mudah daripada menata hati.  Bahkan Abu Bakar ra. pun pernah menyangka dirinya telah menjadi orang munafik, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa hati kita sudah benar-benar bersih?  Mengurus anggota tubuh jelas lebih mudah daripada mengatur hati yang tak kasat mata.  Kalau harus menunggu sampai berhasil ‘menjilbabi hati’, maka takkan ada yang mengenakan jilbab hingga akhir hayatnya.

Kita juga tak perlu menggunakan sebuah data statistik yang minor untuk menghancurkan data lainnya yang lebih meyakinkan.  Memang ada Muslimah berjilbab yang akhlaq-nya buruk, akan tetapi jumlah kelompok ini jauh lebih sedikit daripada kelompok Muslimah berjilbab yangakhlaq-nya baik dan kelompok Muslimah tak berjilbab yang akhlaq-nya buruk.

Kita takkan menemukan kepuasan intelektual maupun ketentraman hati jika mengikuti pola pikir sekuler yang serba tidak pasti dan serba tidak final.  Pada titik ekstremnya, bisa saja kita bisa menjadi Sumanto Al Qurtuby, pentolan JIL lulusan Fakultas Syariah IAIN Semarang yang mengatakan bahwa  yang baik dan jahat dari manusia adalah hatinya, bukan tubuhnya.  Karena itu, alat kelamin tak ada bedanya dengan daging lain seperti betis, telinga, hidung dan yang lainnya.  Pada akhirnya Sumanto malah menghalalkan zina bagi siapa saja, asal tidak dilandasi oleh hati yang jahat.  Adapun batasan-batasan untuk hati yang jahat, Sumanto belum lagi mulai membahasnya.

Sebagai Muslim, kita harus menjaga diri dan kehormatan kita, karena Allah adalah pemilik sejati dari keseluruhan eksistensi kita.  Jika kita tak mampu menghormati diri kita sendiri, tentu orang lain pun tak akan menghormati kita.


oh ya ini  SUMBER tempat saya copy paste .. tulisan di atas ,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar